Nama-nama Walisongo dan Perannya dalam Penyebaran Agama Islam


Wali dalam konteks Bahasa Arab merupakan kependekan dari Waliyullah yang berarti “orang yang dicintai” atau “orang yang mencintai Allah”.

Dalam hal ini wali dianggap sebagai sosok yang memiliki kelebihan akibat kedekatannya dengan Allah SWT. Kedekatannya dengan Allah menjadikannya penghubung antara manusia dengan Allah, bahkan wali juga dianggap memiliki karomah yang berada di luar nalar manusia.

Walisongo dalam Bahasa Jawa bisa diartikan sebagai “wali yang berjumlah sembilan”. Kata Walisongo juga bisa dikatakan berasal dari kata Walisana yang berarti wali dari daerah tertentu. Kata Sana juga memiliki kedekatan dengan kata tsana dalam bahasa Arab yang berarti terpuji. (Budi Sulistiono, 2014).

Perbedaan pendapat dari makna Walisongo adalah karena Walisongo sebenarnya tidak hanya berjumlah sembilan orang. Anggota dari Walisongo selalu berganti akibat ada anggotanya yang meninggal dunia, atau harus berpindah ke negeri seberang. Sehingga Kata Songo dalam Walisongo dianggap sebagai kerancuan dalam Bahasa Jawa dari Bahasa Arab yaitu Sana atau Tsana.

Beberapa pendapat juga mengatakan pemilihan angka 9 karena dianggap sebagai angka keramat. Jumlah 9 diperkirakan berasal dari dewa-dewa Astadikspalaka atau Nawasanga dalam tradisi Hindu. (Devi Ari Anata, 2014).

Walisongo juga memiliki peranan yang sangat penting dalam Pemerintahan sebagai penasihat di kerajaan. Atas hal tersebut mereka diberikan gelar Sunan yang berasal dari kata Susuhunan yang artinya “yang dijunjung tinggi”.

Nama-nama Walisongo dan Perannya dalam Penyebaran Islam

Satu: Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)

Di kalangan ahli sejarah, ada menyebutnya Maulana Maghribi. Menurut H. Abu Bakar berpendapat Maulana Malik Ibrahim berasal dari Gujarat, dikarenakan kemiripan batu nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 882 H atau 1419 M dengan batu nisan makam Umar Bin Ahmad Al-kazarani di Cambay (Gujarat) yang tertulis tahun 743 H.

Sedangkan Solihin Salam berpendapat Maulana Malik Ibrahim berasal dari Kasyan (Persia) wafat di Gresik tahun 882 H/1419M (Muhammad Syamsu,1996:49). 

Adapun Prof. Dr. Hamka mengatakan nampaknya beliau berasal dari Khasiang (Persia), bangsa Arab dari keturunan Rasulullah (Saiffudin Zuhri, 1994:261). Ayahnya bernama Syeh Maulana Ahmad Jumadil Kubro.

Maulana Malik Ibrahim menjadi pembuka dan ulama yang pertama kali di pulau Jawa. Beliau pertama kali datang pada tahun 1379 M (Burhanuddin Rasyid, 1994:11).

Beliau singgah di desa Leran yaitu sekitar 9 Km dari kota Gresik. Beliau memilih desa tersebut karena disitu telah ada komunitas muslim yang di awali oleh Fatimah Binti Maimun.

Maulana Malik Ibrahim menjadi mubaligh pertama yang memasukkan agama Islam ke tanah Jawa, disamping pada saat itu penduduk masih beragama Hindu dan Budha serta mempunyai kepercayaan yang bermacam-macam.

Berkat budi halus, amal sholih dan kepribadian mulia yang beliau tampilkan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari dalam mendekati masyarakat sekitar, lambat laun banyak diantara mereka yang tertarik dengan Islam dan masuk agama Islam.

Agar dakwah Islam lebih efektif serta sebagai tempat menghimpun maka didirikanlah dua masjid atas biaya Raja Chermain yaitu di desa Ramo dan di kampung Sawo Gresik. Beliau juga mendidik dengan sistem pondok pesantren, sehingga beliau dipandang sebagai “Bapak Pesantren di Jawa”.

Dua: Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Beliau juga dikenal dengan nama Raden Rahmatullah yang merupakan salah seorang wali besar yang telah ikut serta menancapkan agama Islam di pulau Jawa (Agus Sunyoto,1994:52).

Beliau lahir tahun 1401 M di negeri Champa (Kamboja) dari ibu yang merupakan salah seorang putri Champa dan ayah bernama Mahdum Ibrahim As-Samarkandi. Ia juga masih saudara dengan Maulana Malik Ibrahim.

Sekitar tahun 1443-1446 M beliau tiba di Jawa dengan ayah, saudaranya yang bernama Ali Murtadla dan sahabatnya Abu Hurairah. Pendapat lain juga menyebutkan beliau datang ke Jawa sebagai utusan ayahnya untuk menyiarkan agama Islam, di ikuti oleh adik dan sahabatnya tersebut.

Raden Rahmat mulai berdakwah didaerah Ampel (Surabaya) dan mendirikan Pesantren sebagau asrama tempat pengikutnya dibina ajaran Islam dan berhasil mencetak ahli-ahli agama yang mempunyai dedikasi tinggi dalam mengamalkan dan menyiarkan Islam (Widji Saksono, 1995:27).

Raden Rahmat juga berhasil menanamkan rasa simpati kepada kaum bangsawan. Beliau telah menampakkan sikap kepemimpinan mendidik mereka untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan bangsa. Beliau wafat pada tahun 1403 Saka atau 1481 M dan dimakamkan disamping Masjid Ampel, Surabaya.

Tiga: Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri)

Sunan Giri memiliki banyak nama, adapun nama Joko Samudra yang diberikan oleh ibu angkatnya, Nyi gede Pinatih. Raden Paku juga merupakan nama pemberian yang nampaknya nama “Paku” diberikan dengan harapan kelak Sunan Giri mampu menjadi tokoh stabilisator dunia Islam (Umar Hasyim, Sunan Giri dan Pemerintahan Ulama’ di Giri Kedaton, Menara kudus, Kudus, 1976:142).

Nama lain beliau juga adalah Prabu Satmata, gelar yang diberikan Sunan Kalijaga. Adapun nama Sultan Abdul Faqih, nama ini disematkan karena sangat beliau dalam ilmu fiqihnya. Serta Maulana Ainul Yaqin, nama lain beliau atas pemberian gurunya dari Pasai, diberi nama ini karena beliau memiliki ilmu agama yang tinggi, kepribadian yang mulia, alim serta berwibawa.

Kemudian di Jawa beliau mendapat gelar Ratu Tunggal Kholifahtul Mu’minin, pemberian gelar ini nampaknya terilhami oleh peran beliau sebagai seorang pemimpin orang mu’min di Jawa. Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu merupakan orang tua Sunan Giri. Beliau dilahirkan di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun 1442 M, dan wafat di Giri pada tahun 1506 M.

Sunan Giri merupakan orang yang alim berwibawa, dalam ilmu fiqih dan tauhidnya. Beliau sangat bijak dalam menentukan hukum, oleh karena itu beliau diangkat menjadi jaksa kepala dalam walisongo. Beliau juga berhati-hati dalam menentukan corak agama Islam di Jawa dan tidak mentoleransi semua adat istiadat lama yang tidak sesuai dengan aqidah Islam dikarenakan syariat Islam harus murni sesuai dengan Al-Qur’an dan As- Sunnah.

Beliau juga memegang ahli tata praja terutama jabatan tersebut beliau pegang setelah wafatnya Sunan Ampel. Begitu juga ahli pendidikan menjadi gelar yang melekat dan dapat dikatakan beliau sebagai tokoh atau lambang pemersatu bangsa dalam bidang ilmu dan pendidikan.

Untuk mengkonsentrasikan gerakan di bidang pendidikan, beliau membuat pondok pesantren di Giri, sehingga murid-murid banyak yang datang dari berbagai penjuru nusantara. Kemudian lambat laun pesantren yang didirikan tahun 1487 tersebut berdiri menjadi sebuah keraton kecil bernama Giri Kedaton.

Empat: Raden Mahmud Ibrahim (Sunan Bonang)

Raden Maulana Makdum Ibrahim merupakan salah satu putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila.

Menurut riwayat, sebutannya menjadi Sunan Bonang dikaitkan dengan strategi dakwah beliau yang menggunakan lagu-lagu gending gamelan, dikarenakan beliau yang mengambil kebijakan berda’wah dengan menggunakan kesenian rakyat yakni bonang (Baidlawi Syamsuri, 1995: 69-70).

Bonang ialah sejenis gending yang terbuat dari besi atau kuningan yang tengahnya ditonjolkan keatas. Bila tonjolan itu ditabuh, maka timbul suara yang merdu. Kelahiran beliau adalah pada tahun 1465 M dan wafatnya pada tahun 1525 M dan dimakamkan di Tuban Jawa Timur.

Berkat didikan orang tuanya dan gurunya yakni Maulana Ishaq, beliau tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki sifat kepemimpinan, juru dakwah yang memiliki cita-cita dan pengabdian, penuh kebijaksanaan dalam pergaulan, dan seorang yang memiliki pribadi yang lembut dan budi pekerti yang luhur. Beliau menggunakan “bahasa” seniman dan budayawan serta kesenian agar dakwahnya mudah di terima oleh masyarakat setempat, terutama masyarakat di sekitar pantai Rembang (Surabaya).

Perjuangan dalam bidang politik tidak beliau tinggalkan, yang mana beliau juga berusaha memasukkan pengaruh Islam ke kalangan bangsawan kraton Majapahit.  Karena jasanya, beliau mendapat gelar Prabu Nyokro Kusumo.

Lima: Raden Qosim (Sunan Drajat)

Beliau memiliki nama kecil Syariffudin atau Raden Qosim, sedangkan masyarakat luas juga mengenalnya dengan nama Masaih Munat. Beliau kelahiran tahun 1470 M dan wafat tahun 1522 M. Merupakan putra Sunan Ampel dengan Siti Manila (Nyi Ageng Manila).

Beliau sangat terkenal kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran agama beliau ditempatkan berdakwah di desa Drajat, wilayah kecamatan Paciran kabupaten Lamongan (Kadipaten Sedayu).

Beliau merupakan anggota walisongo yang Sosialwan dan sangat memperhatikan kaum fakir miskin. Beliau menitikberatkan pada dakwah Bil Hal yakni dakwah yang terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan ajaran.

Beliau juga mendidik anak-anak secara tetap di Masjid yang didirikan pada tahun 1502 M dengan berarsitektur Jawa kuno, mirip rumah panggung beratap tumpang dengan kemuncak tunggal yang menggambarkan keesaan Allah SWT.

Sunan Drajat, dikenal masyarakat luas sebagai Waliyullah membangun karakter bangsa yang berbudi luhur dan lembut, berjiwa sosial dan tidak suka konfrontatif dalam melibatkan agama Islam.

Sebagai seorang pemimpin beliau sangat memperhatikan kaum miskin dan upaya tersebut beliau wujudkan dengan bentuk santunan sosial.

Enam: Maulana Jafar Shodiq (Sunan Kudus)

Memiliki nama lain yakni Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan sering disebut dengan Jafar Shodiq. Beliau adalah Putra dari Sunan Ampel. Sebagian riwayat mengatakan bahwa nama kecil Sunan Kudus adalah Raden Undung. Kelahirannya sekitar tahun 1400 M, sedangkan tahun wafatnya sekitar tahun 1550 M dimakamkan di desa Kauman, Kudus. Merupakan anak dari Raden Usman Hajji atau yang dikenal dengan Sunan Ngudung, seorang panglima perang Kesultanan Demak Bintoro.

Beliau mendapat gelar Amirul Hak karena beliau pernah memimpin rombongan jamaah haji. Gelar lain yang beliau sandang yaitu Waliyul Ilmi karena keahliannya dalam bidang ilmu agama terutama ilmu tentang Tauhid, Usul, Hadist, Tafsir, Sastra, Mantik, dan Ilmu Fiqih.

Beliau menjadi salah seorang anggota dewan walisongo yang memiliki banyak jabatan strategis dalam pemerintahan Demak. Beliau pernah menjabat sebagai Qodli (Mahkamah Agung) dan juga seorang panglima perang. Dalam dakwahnya, beliau mendirikan sebuah masjid bernama Masjid Al-Manar atau nama resminya Masjid Al Aqsa Manarat Qudus (Masjid Menara Kudus). Bangunan masjid tersebut didirikan tahun 1549 M dengan bergaya arsitektur Islam, Hindu dan Buddha yang mana keunikan dan keindahannya menunjukkan proses akulturasi yang indah.

Tujuh: Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

Sering disebut juga dengan nama Syekh Nurullah, beliau adalah putra Sultan Abdullah Bin Ali Nurit Alam Bin Jamalludin Al-Akbar Al-Husein dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran.

Beliau lahir pada tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dimakamkan di pasir putih di Bukit Sembung (Cirebon).  Sejak kecil Beliau telah mendapatkan didikan agama dan digembleng Sosialisme yang kuat, karena saat itu Samudra Pasai dikuasai oleh Portugis (Arman Arroisi, 1993:2).

Setelah dewasa beliau pernah berguru ke Ulama’-ulama’ Makkah sehingga banyak menguasai ilmu. Terakhir beliau pernah berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Setelah dirasa mampu, beliau diperintahkan menyebarkan Islam di Cirebon tugas ini dilaksanakan pada tahun 1470 M dan disinilah beliau mendapat Julukan Maulana Jati atau Syeh Jati.

Akhlak mulia yang beliau miliki dan bekal ilmu pengetahuan yang tinggi menjadilan dakwah Islam oleh Sunan Gunung Jati indah dan menarik sehingga Sultan Demak tertarik kepadanya. Oleh Sultan Demak beliau di minta untuk tetap tinggal di Jawa, dan di nikahkan dengan putri Demak, saudara Sultan Trengono sendiri.

Sebagai warga “dalem” beliau semakin giat berdakwah dan membantu Demak. Sebagai ahli politik dan pahlawan yang gagah berani, beliau pernah memimpin ekspedisi ke Jawa Barat untuk dakwah sekaligus menghalangi Portugis menguasai Banten dan Sunda Kelapa yang saat itu berada dibawah Kerajaan Pajajaran.

Hingga akhirnya Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa berhasil dalam kekuasaan Islam. Pada tahun 1552 M, banten di serahkan kepada putranya yakni Hasanuddin dan beliau memilih di Cirebon dengan misi yaitu mendirikan pesantren, Masjid, dan menyiarkan agama Islam hingga wafat.

Delapan: Raden Mas Said (Sunan Kalijaga)

Beliau memiliki nama Jaka Setya, ada pula Raden Said dan sering di sebut Raden Syahid. Beliau juga diberi Gelar Syeh Melaya. Beliau putra Tumenggung

Wilwatikta dari Tuban dan karena merupakan mubaligh yang menyiarkan Islam dengan mengembara. Beliau juga terkenal dengan julukan Brandal Lokajaya, seorang yang semula menjalani kehidupan gelap, sesat, dan jahat. Berkat dakwah Sunan Bonang, Brandal Lokajaya bertaubat dan menjadi orang mulia (wali) dengan gelar wali penutup atau wali pusat.

Beliau adalah anak Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta saudara kandung dengan Nyi Ageng Manila, istri Sunan Ampel.  Beliau lahir pada tahun 1450 M di Tuban dan wafat pada tahun 1953 M di Demak.

Beliau dikenal memiliki kecakapan sebagai ahli politik, ahli militer, ahli dakwah, ahli falsafah, ahli tata kota, ahli budaya, dan orang yang mampu menghimpun masa sekaligus hidup bersama mereka. Lingkup pergaulan yang tak terbatas membuat beliau mampu berhubungan dengan ‘ulama, bangsawan, cendekiawan, dan dengan rakyat kecil sekalipun (Ahmad Mansyur Suryanegara, 1993:101).

Sebagai mubaligh, beliau lebih suka berdakwah dengan cara keliling ke daerah-daerah, penuh toleransi dalam pergaulan dan bertabligh dengan menyesuaikan aliran zaman (kebudayaan) waktu itu. Sebagai budayawan beliau dalam berdakwah tidak menentang segala budaya yang ada di masyarakat, bahkan beliau mencoba untuk mengisi dengan nilai-nilai keislaman.

Sembilan: Raden Umar Said (Sunan Muria)

Memiliki nama kecil bernama Raden Prawoto, Raden Umar Said atau Raden Said. Setelah beliau menjadi anggota dewan walisongo dan bertempat di Gunung Muria, akhirnya beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Muria Pada.

Beliau adalah salah seorang putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarah Binti Maulana Ishak, sumber lain mengatakan bahwa beliau adalah putra dari Pangeran Gadung (Sartono Kartodirjo, 2020:28).  Beliau dimakamkan di desa Colo, kecamatan Dawe kabupaten Kudus.

Sunan Muria mempunyai wilayah disekitar Gunug Muria yaitu pantai utara daerah Jepara, Tayu, Pati, Juwana, Kudus, Dan Lereng Gunung Muria. Dakwah yang beliau terapkan dalam menghadapi masyarakat Jawa dengan adat khasnya lebih condong pada aliran abangan atau Tuban. Beliau banyak mentoleransi budaya atau adat setempat dan mengisinya dengan syariat Islam.

Beliau adalah salah seorang wali yang benar-benar merakyat, hidup bersama rakyat jauh dari kota, diatas Bukit Muria. Beliau membuka pesantren dan masjid sebagai pusat kegiatan Islam. Beliau juga sebagai ahli tasawuf yang zuhud, mengajarkan dan mendidik para santri yang hendak menyelami ilmu tasawuf, untuk lebih dekat dan cinta kepada Allah dengan puji-pujian, dzikir dan kalimah thoyibah.