Mempopulerkan Ledre Intip Khas Laweyan kepada Generasi Muda


Oleh: Muhammad Ath Thaariq Aziizi

Ledre merupakan jajanan tradisional yang terbuat dari bahan ketan, tepung beras, tepung tapioka, pisang raja, santan, parutan kelapa, gula, telur, dan minyak kacang (Valleria, 2022: 72). Berbagai bahan dijadikan satu kemudian dipipihkan dalam sebuah wajan kecil. Proses memasak yang sedemikian rupa tersebut memunculkan istilah yang disebut dengan “ngeledre”. Segmentasi utama ledre berada di Bojonegoro, Jawa Timur dan Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah.

Menurut Rahayu, dkk (2017: 163), Ledre merupakan jajajan khas Bojonegoro, namun ada pula olahan ledre yang berasal dari Laweyan, Surakarta. Ada perbedaan mendasar diantara kedua jenis ledre dari kedua daerah tersebut, yakni:

 

Ledre Bojonegoro

Ledre Laweyan

Bahan

Menggunakan Tepung Beras, tidak menggunakan parutan kelapa, dan menambahkan gula

Menggunakan beras ketan, menggunakan parutan kelapa, dan tidak menambahkan gula

Cara pembuatan

Perlu minyak kacang

Tidak diperlukan minyak sama sekali

Ukuran

Panjang 20 cm & lebar 1.5 cm

Panjang 10-15 cm & lebar 8-10 cm

Tekstur

Lebih renyah

Lebih padat

Kemasan

Tidak menggunakan daun pisang sebagai pembungkus

Menggunakan daun pisang sebagai pembungkus

Berdasarkan lima perbedaan kriteria diatas, maka selanjutnya di Laweyan, Surakarta disebut sebagai “Ledre Intip”, sementara di Bojonegoro disebut dengan “Ledre Gulung”(Sunjata, dkk, 2014: 140). Perbedaan antara Ledre Laweyan dan Bojonegoro tidak merubah fakta, bahwa Ledre telah ada sejak zaman dahulu. Ledre telah terekam lewat beberapa karya sastra terdahulu. Karya sastra yang merekam adanya Ledre adalah Serat Centhini tahun 1814-1823 dan Serat Tataran tahun 1936.

Ledre dalam Karya Sastra Terdahulu

Ledre telah terekam dalam dua karya sastra terdahulu, seperti dalam karya sastra Serat Centhini yang populer. Dalam Serat Centhini, Ledre sering ditampilkan dalam kenduri, pertunjukkan wayang, maupun hanya dinikmati dalam sarapan. Dalam Serat Centhini, Ledre pertama kali di Mataram, lalu muncul berikutnya ketika Jayengwesti berada di Alas Wanamarta.  Ki Bayu Panurta membuat varian Ledre dengan isian pisang telah ada sebagai sarapan ketika berada di Alas Wanamarta (Sunjata, dkk, 2014).

Ledre masih populer sampai lebih dari sepuluh dekade berikutnya. R. Wignjadisastra menggubah sebuah serat yang berjudul “Tataran.”  Serat Tataran merupakan sebuah karya sastra berjenis novel, yang menceritakan tentang kehidupan seorang anak bernama Koentjong dan keluarganya. Suatu ketika anggota keluarga Koentjong bernama Gombloh membeli sebuah Ledre Intip di Warung Gunung untuk sarapan (Wignjadisastra, 1936: 24). Hal menarik dalam karya sastra ini adalah penyebutan ledre yang menggunakan tambahan “intip”.

Mempopulerkan Ledre Intip

Pemerintah Indonesia melalui Presiden Sukarno dan Menteri Pertanian, Azis Saleh tahun 1960, menerbitkan sebuah buku resep makanan Indonesia yang berjudul “Mustika Rasa”. Azis Saleh dalam sambutannya menyampaikan bahwa semua resep yang ditulis haruslah bermanfaat terutama bagi masyarakat Jawa Tengah, sehingga banyak makanan yang terkandung didalamnya. Ledre ternyata tidak termasuk dalam makanan yang diresepkan dalam buku. Tidak hanya ledre, makanan seperti tjarang gesing, dan jajanan pasar lainnya juga tidak ada. Dalam buku resmi keluaran pemerintah tersebut justru terdapat makanan-makanan dengan unsur luar negeri seperti Koffertjes, bahkan ada kreasi makanan baru untuk mendukung proyek pemerintah, yakni Sajur Manipol Usdek (Komunitas Bambu, 2016).

Bu Sri Martini kemudian mendirikan usaha Ledre Intip yang berada di daerah bersejarah Laweyan tahun 1984. Sampai saat ini sudah tersebar 5 outlet di Kota Surakarta. Jumlah tersebut masih belum bisa menyaingi jajanan tradisional seperti serabi di Kota Surakarta yang mencapai lebih dari 30 outlet. Jajanan tradisional seperti Ledre Intip nyatanya kurang diminati oleh remaja, sehingga salah satu outlet di Laweyan milik Pak Susilo melakukan iklan di laman media sosial Instagram.